Bandung, ZONAWARTA.COM – Indonesia, sebagai negara yang terletak di antara tiga lempeng tektonik aktif dunia—Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik—dihadapkan pada risiko tinggi terhadap bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami. Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa menjadi salah satu kawasan yang paling rentan terhadap ancaman tersebut.

Sayangnya, dokumentasi sejarah mengenai peristiwa tsunami di kawasan ini masih sangat terbatas. Periset Bidang Sedimentologi dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Purna Sulastya Putra, mengingatkan, “Artinya, kita bisa saja melewatkan ancaman besar yang pernah terjadi di masa lalu, sebagaimana kita lihat pada kasus tsunami raksasa Aceh 2004,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (14/7).

Untuk mengatasi kekosongan data historis tersebut, BRIN menjalankan studi paleotsunami—kajian ilmiah yang mengandalkan jejak-jejak tsunami purba yang terekam dalam lapisan sedimen tanah dan batuan. Studi ini memungkinkan para ilmuwan untuk menelusuri peristiwa tsunami besar yang terjadi ribuan tahun lalu.

Rangkaian survei lapangan telah dilakukan sejak tahun 2006 hingga 2024 di sejumlah wilayah selatan Jawa. Dari survei tersebut, tim peneliti menemukan endapan tsunami purba yang diperkirakan berasal dari kejadian sekitar 1.800 tahun silam. Lapisan endapan ini ditemukan tersebar di Lebak, Pangandaran, Kulon Progo, dan Pacitan.

Konsistensi usia endapan di berbagai titik itu memberikan sinyal kuat akan terjadinya satu peristiwa tsunami besar yang melanda sepanjang wilayah tersebut. BRIN menduga bahwa tsunami ini merupakan akibat dari gempa megathrust bermagnitudo 9 atau lebih. “Seperti yang terjadi pada tsunami Aceh 2004,” imbuh Purna.

Upaya memperkaya data terus berlanjut. Pada Mei 2025, BRIN melaksanakan ekspedisi lanjutan di wilayah selatan Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul. Penelitian kali ini berfokus pada pencarian jejak tsunami yang lebih muda usianya. Hipotesis tim menyatakan bahwa gempa besar dengan magnitudo lebih dari 9 memiliki pola perulangan sekitar 675 tahun sekali di kawasan ini.

Dalam penjelasannya, Purna mengatakan, “Metode yang digunakan adalah pemboran tangan, trenching atau pembuatan kolam paritan, dan pemetaan LiDAR.” Ia menambahkan, “Ekspedisi kami kali ini difokuskan untuk mencari jejak paleotsunami yang usianya lebih muda dari sekitar 1.800 tahun yang lalu, agar kami bisa merekonstruksi berapa kali tsunami raksasa akibat gempa megathrust bermagnitudo lebih dari 9 pernah terjadi di selatan Jawa.”

Penelitian tersebut mulai menunjukkan hasil positif. Di Kulon Progo, tim menemukan tiga lapisan pasir yang memiliki ciri-ciri khas tsunami purba, termasuk keberadaan foraminifera laut—mikroorganisme yang hanya hidup di lingkungan laut—serta struktur lapisan yang terbentuk akibat hempasan gelombang besar.

Salah satu lapisan yang ditemukan, menurut Purna, kemungkinan berasal dari tsunami sekitar 1.800 tahun lalu. Namun, ia menambahkan pula bahwa terdapat lapisan lain dengan usia yang lebih muda, yang mengindikasikan bahwa bencana serupa kemungkinan besar telah terjadi lebih dari satu kali.

Saat ini, tim masih menganalisis sampel-sampel sedimen tersebut. Proses penentuan usia menggunakan teknik radiocarbon dating dilakukan di laboratorium luar negeri untuk memperoleh hasil yang akurat mengenai kapan peristiwa tsunami tersebut terjadi.

Lebih jauh, Purna menekankan pentingnya hasil temuan ini. “Temuan paleotsunami ini bukan sekadar catatan akademik. Data tersebut sangat penting untuk menyusun zonasi wilayah rawan bencana, menjadi pertimbangan tata ruang dan pembangunan wilayah pesisir, serta meningkatkan kesadaran publik termasuk simulasi evakuasi tsunami (tsunami drill), khususnya di kawasan wisata Pantai,” tegasnya.

Ia berharap, seluruh data hasil riset dapat menjadi bagian penting dalam perumusan kebijakan berbasis data ilmiah, sehingga upaya mitigasi bencana bisa dilakukan secara lebih tepat, efektif, dan menyeluruh.

Sumber: Biro Humas BRIN

Rekomendasi untuk Anda