Semarang, ZONAWARTA.COM – Dalam suasana peringatan Hari Buruh, isu ketenagakerjaan kerap identik dengan sektor industri. Namun, kontribusi kelompok kerja akar rumput yang berjuang di luar sorotan tetap layak mendapat tempat dalam percakapan nasional, termasuk para petani pohon dan penggerak penghijauan yang bekerja di garis depan krisis iklim.

Di pesisir Trimulyo, Semarang, komunitas lokal bernama Tripari menjalankan aksi nyata menjaga lingkungan sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Komunitas ini digerakkan oleh Suswanto (32) atau yang akrab disapa Antok—mantan buruh perusahaan yang sejak 2015 mengalihkan seluruh tenaganya untuk pelestarian pesisir.

“Kerusakan lingkungan di kampung kami nyata. Abrasi datang setiap tahun, dan kami melihat pentingnya melakukan sesuatu. Maka kami mulai menanam mangrove bersama warga,” kata Antok.

Tripari muncul sebagai respons terhadap dampak abrasi yang semakin parah di pantai utara Jawa. Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Jawa Tengah telah kehilangan hampir 8.000 hektar lahan pesisir. Kabupaten Brebes, Kabupaten Demak, dan Kota Semarang tercatat sebagai wilayah paling terdampak, dengan total abrasi masing-masing mencapai ribuan hektar. Fenomena ini diperparah oleh penurunan tanah dan naiknya permukaan air laut.

Kemitraan yang terjalin antara Tripari dan startup konservasi LindungiHutan memberikan dorongan penting. Melalui kerja sama ini, komunitas mendapat dukungan berupa bibit, pelatihan, hingga pendampingan teknis yang memperkuat keberlanjutan konservasi.

“Yang menarik dari konservasi berbasis komunitas adalah keberlanjutan. Mereka bukan datang dan pergi. Mereka tinggal di sana, merawat pohon, dan hidup bersama dampaknya,” ujar Aminul Ichsan, Ketua Yayasan LindungiHutan.

Namun, jalan pelestarian tidak selalu mulus. Pada 2019, proyek jalan tol Semarang–Demak serta normalisasi sungai menghapus sebagian wilayah tanam yang telah dibangun.

“Kami kecewa, tapi tidak menyerah. Yang penting bisa terus menanam di tempat lain,” ujar Antok.

Kini, Tripari terus bergerak. Penanaman dilakukan di berbagai titik pesisir Trimulyo, disertai sistem pemantauan yang dikelola langsung oleh warga. Komunitas ini tak hanya menanam pohon, tapi juga mencatat pertumbuhan, melaporkan kerusakan, dan merawat habitatnya secara berkelanjutan.

Hari Buruh pun menjadi momen reflektif bagi mereka. Bahwa pekerjaan tak hanya tentang industri dan pabrik, tapi juga soal ketekunan merawat bumi.

“Kami berharap lebih banyak pihak mengakui peran petani pohon dalam agenda iklim nasional. Mereka aktor penting yang bekerja dalam senyap,” tambah Ichsan.

Konservasi berbasis komunitas, sebagaimana dijalankan Tripari, kini tampil sebagai salah satu pendekatan paling lentur dan relevan dalam menghadapi darurat ekologi. Tanpa dukungan terhadap kerja-kerja semacam ini, ketahanan lingkungan hanyalah mimpi kosong.

Rekomendasi untuk Anda